TERNATE, FORES INDONESIA-Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Maluku Utara dengan Nomor: 13.B/LHP/XIX.TER/05/2025 mengungkap adanya penyimpangan dalam pengelolaan retribusi pelayanan kesehatan di sejumlah Puskesmas Kota Ternate. Temuan tersebut dinilai tidak hanya melanggar aturan administrasi, tetapi juga berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi.
BPK mencatat total pendapatan retribusi pelayanan kesehatan sepanjang 2024 sebesar Rp245.596.500. Namun hanya Rp81.845.500 yang sah diterima dari pelayanan Puskesmas. Selisih yang signifikan ini menunjukkan adanya potensi penggunaan dana tanpa mekanisme yang benar.
Selain itu, terdapat selisih Rp22.128.000 antara penerimaan kasir Puskesmas dan bukti setoran ke kas daerah. BPK juga menemukan Rp18.000.000 dari retribusi dipergunakan langsung untuk membayar honor tenaga kebersihan, sesuatu yang menyalahi prosedur pengelolaan keuangan daerah.
Tak berhenti di situ, Dinas Kesehatan Kota Ternate diduga melakukan pungutan biaya pendidikan untuk penggunaan lahan praktik mahasiswa dari berbagai institusi. Dana yang terkumpul mencapai Rp82.657.000 pada tahun 2024, namun tidak disetor ke kas daerah dan tidak tercatat sebagai pendapatan daerah. Sebaliknya, uang itu digunakan membayar honor Clinical Instructor (CI).
Menurut praktisi hukum Maluku Utara, Agus Salim R. Tampilang, praktik pungutan tanpa dasar hukum dan penggunaan dana retribusi di luar mekanisme resmi merupakan bentuk perbuatan melawan hukum.
“Secara formil terdapat penyalahgunaan wewenang. Secara materil, perbuatan itu merugikan keuangan negara. Unsur tindak pidana korupsi sudah terpenuhi,” ujar Agus kepada media ini, Kamis (5/9).
Agus menjelaskan, tindak pidana korupsi selalu terkait dengan niat jahat (mens rea). Artinya, setiap penggunaan dana yang dilakukan secara sadar, baik dengan sengaja (dolus) maupun karena kelalaian (culpa), dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Temuan BPK menunjukkan bahwa tata kelola retribusi kesehatan di Ternate masih jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas. Pungutan yang tidak memiliki dasar hukum memperbesar risiko kebocoran anggaran, sekaligus mengurangi potensi pendapatan asli daerah (PAD).
Hal ini bertentangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menegaskan seluruh penerimaan daerah harus disetor ke kas daerah.
Agus meminta aparat penegak hukum, baik Kejaksaan maupun Kepolisian, segera menindaklanjuti temuan BPK tersebut. Menurutnya, tindakan cepat diperlukan agar kasus serupa tidak terus berulang dan merugikan keuangan daerah.
“Pungutan yang mengabaikan aturan hukum jelas pelanggaran serius. Aparat harus turun tangan untuk memastikan pertanggungjawaban hukum,” tegas Agus. (Tim)